No Sara (Just Share)
kulihat ibu pertiwi
sedang bersusah hati
air matamu berlinang
mas intanmu terkenang
hutan gunung sawah lautan
simpanan kekayaan
kini ibu sedang susah
merintih dan berdoa
kulihat ibu pertiwi
kami datang berbakti
lihatlah putra-putrimu
menggembirakan ibu
ibu kami tetap cinta
putramu yang setia
menjaga harta pusaka
untuk nusa dan bangsa
Pasti Yang pernah Smp ma Sma Tau dong lagunya ????
Iman Dwi Hartanto, penyiar Radio Suara Surabaya [SSFM], yang sangat dikenal warga Surabaya dan sekitarnya. Ini karena SSFM banyak didengar, sering menjadi rujukan informasi lalulintas, dan berita-berita mutakhir alias breaking news.
Setiap Jumat malam, Iman memandu 'Memorabilia', program lagu-lagu kenangan. Ada lagu Indonesia, Barat, jenisnya macam-macam. Ada lagu 1950-an, 1960-an, 1970-an. Penyanyinya macam-macam. Iman cakap bikin kategorisasi, ini didukung koleksi SSFM yang cukup, sehingga sajian 'Memorabilia' selalu menarik. Apalagi, kalau Ibu Tutik [lansia] gabung melalui telepon, wuih... ramai nian.
Ada lagi yang menarik, sekaligus menjadi penanda berakhirnya 'Memorabilia'. Apa itu? Iman Dwi Hartanto selalu memutar nomor instrumental Kulihat Ibu Pertiwi. Anak-anak sekolah dasar dan lanjutan di Indonesia, khususnya Jawa, tahu benar syair dan melodi nyanyian ini.
Setiap Jumat malam, Iman memandu 'Memorabilia', program lagu-lagu kenangan. Ada lagu Indonesia, Barat, jenisnya macam-macam. Ada lagu 1950-an, 1960-an, 1970-an. Penyanyinya macam-macam. Iman cakap bikin kategorisasi, ini didukung koleksi SSFM yang cukup, sehingga sajian 'Memorabilia' selalu menarik. Apalagi, kalau Ibu Tutik [lansia] gabung melalui telepon, wuih... ramai nian.
Ada lagi yang menarik, sekaligus menjadi penanda berakhirnya 'Memorabilia'. Apa itu? Iman Dwi Hartanto selalu memutar nomor instrumental Kulihat Ibu Pertiwi. Anak-anak sekolah dasar dan lanjutan di Indonesia, khususnya Jawa, tahu benar syair dan melodi nyanyian ini.
Suatu ketika ada pendengar bertanya, Kulihat Ibu Pertiwi itu ciptaan siapa? Kok enak sekali? Iman, saya tahu, berusaha menjawab dengan hati-hati. Sebab, bagaimanapun juga SARA [suku, agama, ras, antargolongan] sangat peka di Indonesia, khususnya Jawa Timur. Salah jawab bisa gawat, Bung.
Tapi Pak Markus Sajogo dalam sebuah percakapan dengan saya mengatakan, lagu Kulihat Ibu Pertiwi jelas-jelas lagu rohani kristiani atawa gospel song. Saya pun diminta mengecek KIDUNG JEMAAT, buku nyanyian umat Kristen Protestan di Indonesia. Karena itu, Pak Markus, pengacara dan tokoh masyarakat Surabaya, heran kok bisa lagu gospel direkayasa menjadi Kulihat Ibu Pertiwi.
Saya pun cek KIDUNG JEMAAT. Benar! Lagu itu bertajuk Yesus Kawan yang Sejati, KIDUNG JEMAAT Nomor 453.
Lagu tiga bait itu ditulis Charles Crozart Converse, 1868, komposer asal Amerika Serikat, 1832-1918. Syair asli 'What a friend we have in Jesus', ditulis oleh Joseph Medlicott Scriven, 1855. Yayasan Musik Gereja [Yamuger] kemudian menerjemahkannya dalam bahasa Indonesia pada 1975, dan kemudian menjadi lagu rohani kristen di Indonesia.
Aransemen paduan suara [kor] standar diambil dari Hymns of the Christian Life, 1936. Lagu ini pendek, hanya 16 bar, 4/4, moderato [MM 80], F = do. Tata suara sederhana saja sehingga sangat mudah dinyanyikan. Dalam dunia paduan suara, masuk kategori A: sangat mudah, tidak perlu latihan lama-lama. Anak-anak sekolah dasar pun bisa.
Lalu, bagaimana pula dengan lagu Kulihat Ibu Pertiwi yang sangat terkenal di Indonesia itu? Siapa yang menulis syair dan musiknya? Saya sudah memeriksa beberapa buku kumpulan lagu nasional, termasuk terbitan Musika, Jakarta. [Buku-buku nyanyian penerbit ini terbilang sangat bermutu dan laku keras.]
Ada memang Kulihat Ibu Pertiwi. Tapi tidak ada informasi apa pun tentang nama penulis lagu dan lirik. Hanya ditulis N.N. = no name atawa anonim. Jangan heran, orang Indonesia [umumnya] tidak pernah tahu asal-muasal lagu tersebut. Dan memang sejak dulu orang Indonesia kurang memperhatikan 'hak cipta', tak begitu gubris nama pengarang lagu. Praktik bajak-membajak, jiplak-menjiplak, malah menjadi 'tradisi' di industri musik rekaman Indonesia.
Berdasar data-data di KIDUNG JEMAAT, juga beberapa buku nyanyian gerejawi lainnya [terbitan Indonesia dan luar Indonesia], saya akhirnya menyimpulkan bahwa lagu Kulihat Ibu Pertiwi itu IDENTIK dengan What a Friend We Have in Jesus karya Charles Crozart Converse asal Amerika Serikat pada 1868. Melodinya 100 persen sama.
Saya menduga, melodi khas nyanyian gerejawi internasional itu kemudian diadopsi oleh seorang komposer atau guru musik atau siapa saja yang punya hubungan dengan pendidikan musik di sekolah dasar atau sekolah menengah di Indonesia. Besar kemungkinan orang itu beragama Kristen, atau setidaknya akrab dengan melodi karya Charles Crozat Converse.
Mungkin, karena terkesan dengan melodi nan indah, ia memasukkan kata-kata baru bertema kepedihan Ibu Pertiwi [alam Indonesia], dibukukan, diajarkan kepada anak-anak sekolah. Maka, orang Indonesia pun terbiasa dengan 'lagu nasional' Kulihat Ibu Pertiwi.
Beberapa tahun lalu, Pak Markus Sajogo pernah mencoba mengusut siapa gerangan penulis lirik Kulihat Ibu Pertiwi, yang meminjam melodi karya Converse, 1868. Tapi hasilnya belum jelas.
Sekali lagi, saya menduga-duga, orang yang kreatif itu niscaya komposer berlatar belakang Kristen Protestan karena buku-buku nyanyian Katolik [resmi] yang pernah beredar di Indonesia [Jubilate, Kantar Serani, Syukur Kepada Bapa, Madah Bakti, Kidung Adi, Exultate, Kidung Syukur, Puji Syukur, dan beberapa lagi] tak pernah memuatnya. Sebaliknya, hampir semua buku nyanyian Protestan memuatnya.
Sebagai catatan, lagu-lagu nasional atau lagu wajib atau apa pun namanya mengikuti pola strofik di kidung-kidung kristiani yang diwariskan misionaris Barat, entah itu Jerman, Belanda, Amerika Serikat, Swiss. Ini bisa dipahami karena pengarang lagu-lagu nasional kita banyak yang beragama nasrani, khususnya Protestan dari gereja-gereja arus utama.
Sebut saja Liberti Manik, Binsar Sitompul, Cornel Simanjuntak, Subronto Kusumo Atmojo, F.X. Sutopo, Frans Haryadi, N. Simanungkalit, dan seabrek nama terkenal lainnya. Mereka ini berlatar belakang sekolah musik gerejawi, setidaknya berguru pada pemusik-pemusik klasik Barat. Dirasa Indonesia membutuhkan banyak lagu-lagu nasional, maka jalan termudah, ya, mengikuti pola nyanyian strofik gereja yang sudah ada.
Bagi saya, 'pinjam-meminjam melodi' sudah lazim dalam dunia musik. Bukankah lagu-lagu gerejawi, khususnya pasca-Reformasi Martin Luther, menggunakan melodi lagu-lagu rakyat di Eropa? Setelah diberi syair baru, syair kristiani, jadilah lagu gerejawi, puji-pujian kepada Tuhan.
Jangan lupa, Misa Dolo-Dolo yang sangat tekenal di Gereja Katolik Indonesia menggunakan melodi lagu rakyat Lamaholot di kampung saya, Flores Timur. Oleh Pak Mateus Wari Weruin, komponis musik liturgi, bahan dasar dari kampung ini diolah menjadi ordinarium misa bernuansa Flores Timur. Pola macam ini pun masih dilakukan Pusat Musik Liturgi, Jogjakarta, saat menggelar lokakarya musik liturgi di berbagai daerah di Indonesia.
Kembali ke Kulihat Ibu Pertiwi. Lagu ini sudah telanjur terkenal di Indonesia, syairnya sangat menyentuh orang Indonesia, apa pun agama, etnis, suku, latar belakangnya. Bahwa dia meminjam melodi karya Charles Crozat Converse bukan masalah. Persoalannya, sejak dulu guru-guru musik serta penerbit buku nyanyian di Indonesia alpa mencantumkan nama penulis melodi dan penulis lirik/syair.
Mudah-mudahan di era copyright ini, sebaiknya penerbit Indonesia merevisi buku nyanyian anak sekolah dengan menyertakan nama penulis lagu, Charles Crozat Converse, serta penulis lirik versi Indonesia
3 comments:
kali karena jepang lama menjajah Indonesia yaa jd gt deh ^^
iya yah. lagu perjuangan ini kok bahasanya jepang yah?????
mereka yang dijepang sadar nda ada lagu ini?
wah.... yang mana neh yang asli.....???
Post a Comment